Thursday, March 12, 2009

Nasib RUU Pemilu dan Oligarki DPR

Sorotan tajam berkaitan dengan munculnya oligarki politik tampaknya makin menunjukkan kebenarannya. Paling tidak hal ini terlihat jelas di DPR dalam pembahasan RUU Pemilu. Peran fraksi besar begitu dominan dan menjadikan fraksi-fraksi kecil sebagai subordinat saja. Akibat dari konfigurasi politik yang demikian adalah proses pembahasan RUU Pemilu sangat tergantung pada fraksi-fraksi besar saja.

--------------------------------------------
MUNCULNYA Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu untuk menggantikan UU No.4 Tahun 1999, selayaknya dimaknai sebagai bagian dari upaya mendorong ke arah tatanan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, perubahan sistem politik yang dibangun melalui amandemen UUD 1945 memang tidak bisa tidak, akan mendorong pula pada perubahan UU Pemilu. Ada beberapa hal yang perlu dibangun dalam kerangka menciptakan Undang-undang Pemilu yang mendorong proses terbangunnya pemilu yang demokratis.

Pertama, berkaitan dengan hak-hak suara. Setiap warga negara mempunyai hak untuk memberikan suara di dalam pemilihan umum atas dasar non diskriminasi, setiap warga negara yang dewasa memiliki hak untuk memperoleh akses pada prosedur yang efektif, tidak memihak dan nondiskriminatif untuk mengikuti pendaftaran pemilih.

Setiap individu yang dihambat haknya untuk memberikan suaranya harus diberi ruang untuk mengajukan gugatan melalui pengadilan yang berkompeten. Setiap individu mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan akses yang sama dalam rangka menjalankan haknya memberikan suara. Hak mamberikan suara secara rahasia adalah absolut dan tidak boleh dibatasi dengan cara apa pun.

Kedua, berkaitan dengan pencalonan, hak-hak dan tanggung jawab partai. Setiap orang mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan negaranya dan harus memiliki kesempatan sama untuk menjadi calon dalam pemilu. Setiap orang berhak untuk mendirikan partai politik dengan siapa saja untuk bersaing dalam pemilihan umum. Setiap individu dan atau partai politik yang hak-hak pencalonannya dihambat, berhak untuk mengajukan gugatan melalui pengadilan yang berwewenang.

Ketiga, berkaitan dengan kampanye. Setiap individu atu parpol berhak untuk bergerak bebas di dalam negeri dalam rangka kampanye pemilu, melakukan kampanye atas dasar persamaan dengan partai politik yang lainnya, termasuk dengan partai yang sedang berkuasa. Setiap individu atau parpol memiliki hak yan sama untuk akses ke media massa. Terutama media komunikasi massa, agar mereka dapat mengemukakan pandangan-pandangan politiknya.

Keempat, berkaitan dengan sistem pemilu. Sistem yang dibangun harus mendorong ke arah perwakilan yang rasional dan akuntabilitas publik. Mendorong ke arah intimitas antara wakil rakyat dan yang diwakili. Mendorong partisipasi publik untuk memilih dan menentukan calon wakil rakyat, jadi bukan menggantung pada otoritas DPP partai politik.

Kelima, berkaitan dengan hak dan tanggung jawab negara. Negara harus menetapkan prosedur yang efektif, tidak memihak dan nondiskriminasi dalam semua tingkat kepanitiaan pemilu. Menetapkan persyaratan dasar bagi kompetisi dalam pemilu atas dasar persamaan. Negara harus menetapkan langkah-langkah kebijakan dan institusional untuk menjamin tercapainya tujuan-tujuan pemilu, termasuk melalui pembentukan mekanisme manajemen pemilu yang netral, tidak memihak dan nondiskriminatif.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa pembahasan RUU tersebut molor? Apa saja yang menjadi perdebatan dalam pembahasan tersebut?

Oligarki Parpol

Sorotan tajam berkaitan dengan munculnya oligarki politik tampaknya makin menunjukkan kebenarannya. Paling tidak hal ini terlihat jelas di DPR dalam pembahasan RUU Pemilu. Peran fraksi besar begitu dominan dan menjadikan fraksi-fraksi kecil sebagai subordinat saja. Akibat dari konfigurasi politik yang demikian adalah proses pembahasan RUU Pemilu sangat tergantung pada fraksi-fraksi besar saja.

Beberapa proses pembahasan yang tampak mencolok berkaitan dengan oligarki di DPR tersebut adalah pembahasan tentang sistem pemilu, dan penambahan jumlah kursi DPR, serta dana kampanye pemilu.

Berkaitan dengan sistem pemilu, fraksi-fraksi kecil memandang bahwa sistem proporsional terbuka adalah jalan kompromis antara pilihan sistem distrik dan proporsional representation yang sempat menguat pada awal munculnya RUU Pemilu. Sementara itu fraksi-fraksi kecil menghendaki untuk menggunakan proporsional terbuka dengan alasan bahwa intimitas dan akuntabilitas wakil rakyat lebih terjamin daripada sistem tertutup. Sistem proporsional terbuka juga membuka peluang bagi partai kecil untuk berperan optimal dalam parlemen.

Namun, dua fraksi besar masih tetap "ngotot' untuk menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup. Pilihan fraksi besar tersebut bila dilihat dari sudut pandang kepentingan mereka memang cukup rasional. Sistem proporsional tertutup jelas memberikan keuntungan kepada partai besar karena partai besar tidak mempunyai figur yang kuat di daerah. Sistem proporsional dengan daftar tertutup juga membuka peluang untuk memperkuat dominasi DPP partai politik untuk menentukan siapa yang berhak duduk di kursi wakil rakyat.

Penambahan Kursi

Berkaitan dengan adanya rencana penambahan jumlah kursi DPR dari 500 menjadi 550 sampai 600 kursi dalam RUU Pemilu juga menimbulkan polemik. Paling tidak penambahan tersebut akan menguntungkan partai besar untuk dapat memasukkan kader-kadernya sebanyak mungkin. Dengan demikian memudahkan untuk mendominasi kursi DPR. Penambahan kuantitas kursi tersebut sebenarnya tidak akan menyelesaikan persoalan substansial dari DPR sendiri, yaitu legitimasi.

Dana Kampanye dan fasilitas publik yang bisa digunakan untuk kampanye menjadi perdebatan cukup keras di Pansus RUU Pemilu. Kesenjangan partai besar dengan partai kecil berkaitan dengan pendanaan tampaknya yang menjadi alasan utama. Kemampuan pendanaan yang besar tentu akan mampu memfasilitasi partai untuk berkampanye dengan optimal melalui berbagai media yang ada. Sementara dana yang kecil juga akan memberikan ruang yang terbatas kepada partai untuk kampanye.

Berkaitan dengan perdebatan dana kampanye pemilu tersebut, yang perlu dicermati secara seksama menyangkut rasa keadilan dan kesempatan yang sama. Pendanaan kampanye besar-besaran juga mendorong terjadinya kolusi antara penguasa dengan parpol dan pengusaha. Kondisi semacam ini berbahaya bagi penciptaan iklim demokrasi. Untuk itu proses auditing terhadap parpol harus diperketat, termasuk asal sumbangan harus diperjelas mana yang boleh memberikan sumbangan dan mana yang tidak boleh memberikan. Dengan demikian kampanye benar-benar bersih dan sebagai representasi kekuatan dan partisipasi setiap anggota parpol.

Namun memang ada faktor lain yang menyebabkan molornya pembahasan RUU Pemilu. Faktor tersebut adalah banyaknya Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang masuk, sehingga proses pembahasannyapun lama. Sampai sekarang DIM yang ada berjumlah 963 masalah. Dari sebanyak itu 648 DIM dibahas di Panja, 138 di Timsus, dan 177 tidak berubah. Banyaknya masalah tersebut tentu akan menyita banyak waktu untuk menyelesaikannya.

Banyaknya DIM bisa diatasi apabila proses pembahasan RUU terbuka terhadap partisipasi masyarakat, baik berupa masukan-masukan maupun koreksi atas apa yang sedang berkembang dalam pembahasan tersebut. Dengan dibukanya partisipasi akan mudah dilihat, kemauan masyarakat terhadap UU Pemilu sebenarnya seperti apa. Ketertutupan Pansus dalam proses pembahasan RUU ini mengindikasikan adanya bargaining antar partai, untuk kepentingan jangka pendek.

Membongkar Oligarki DPR

Bagaimana pun dan apa pun alasan yang dikemukakan, pemilu 2004 merupakan sarana yang cukup menentukan masa depan Indonesia. Hal ini mengingat bahwa rakyat sudah sekian lama menunggu atas hasil perubahan yang telah dilakukan pada tahun 1999. Penggulingan kepemimpinan pemerintah orde baru sudah terjadi dan bahkan sudah menghasilkan tiga presiden pasca penggulingan orde baru. Namun perubahan yang substansial berupa terciptanya sistem yang demokratis, partisipatif dan menyejahterakan ternyata tidak kunjung datang. Yang ada dan kita rasakan justru beban masyarakat untuk hidup semakin berat. Oleh karena itu apabila pemilu 2004 tidak mampu menghasilkan kepemimpinan nasional, baik di tingkat legislatif, yudikatif maupun eksekutif yang membawa perubahan menuju tatanan yang lebih baik, maka keutuhan bangsa dan negara indonesia yang menjadi taruhannya.

Oleh karena itu pembahasan RUU Pemilu dan RUU Politik yang lainnya, perlu untuk mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Kontrol yang ketat dan tuntutan transparansi dari publik dalam pembahasan menjadi sangat signifikan mempengaruhi proses di dalam pembahasan tersebut.

0 comments:

Post a Comment